Mei 30, 2010

Kisah-Kisah ‘Islami’ di Televisi

imageDalam dunia tulisan maupun film fiksi, 'tuhan' dari lakon cerita adalah pengarangnya. Dialah yang membuat alur dan nasib masing-masing tokoh dan lakon. Pengarang bisa saja menampilkan seorang manusia yang awalnya sangat jahat, akhirnya menjadi taat. Atau dahulunya sangat taat, akhirnya bejat. Bisa pula menampilkan tokoh super hebat dan lebih sakti dari para Nabi. Dari sisi inilah barangkali fiksi banyak diminati, karena alur dan warna cerita bisa sangat variatif. Cerita bisa pula dibuat menarik dengan mengambil back ground waktu dan tempat yang beragam. Bisa lintas generasi atau bahkan lintas alam.

Mempertemukan antara tokoh wayang Gatutkaca dengan tokoh fiktif Superman pun tidak mustahil. Atau para pendekar muslim melawan monster. Hal-hal aneh yang tak jauh dari itulah yang ditampilkan di sinetron "islami' fiksi di Televisi.

Memang menarik, tetapi isinya adalah kedustaan. Nabi melarang berdusta untuk membuat orang-orang tertawa,

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
"Celakalah orang yang bercerita lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa, celakalah ia..celakalah ia." (HR Abu Dawud)

Wallahu a'lam, karena 'illat dari larangan tersebut adalah kedustaannya, bukan karena lucunya, maka membuat kedustaan supaya orang menangis, takut atau gembira juga dilarang.
Apalagi, beberapa di antaranya jelas-jelas mengandung khurafat atau kesyirikan. Seperti seorang ustadz yang memakai biji tasbih sebagai jimat. Dari tasbih keluar huruf-huruf hija'iyyah atau bisa meledak. Ini sanga lazim nongl di TV. Padahal Nabi bersabda,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
"Sesungguhnya jampi, jimat dan pelet adalah kesyirikan." (HR Ibnu Majah, Ahmad)

Kisah Nyata yang Menakut-nakuti


Seorang Nasrani pernah berkata kepada seorang ustadz, "Ustadz, saya takut masuk Islam!", Sang ustadz bertanya, "Kenapa?", Dia menjawab, "Takut kalau mati nanti seperti di sinetron-sinetron itu." Takut, kalau masuk Islam nanti kuburannya berasap, jenasah penuh belatung, jenasah bisa terbang, kuburan penuh air dan peristiwa mengerikan lain. Ketakutan itu tidak berlebihan, bukankah seluruh sinetron itu menceritakan tentang orang Islam? Selalunya bicara tentang jenasah terbungkus kain kafan? Bukan berjas, bersalib atau yang sudah jadi abu?

Pada sisi lain, meskipun diangkat dari kisah nyata, sebagai kelengkapan cerita menuntut adanya tambahan dan rekayasa kejadian, nama maupun tempat. Unsur melebih-lebihkan dari kejadian sebenarnya jelas ada. Karena tanpa bumbu ini, cerita menjadi hambar, kurang dramatis.

Seringkali tuntutan skenario juga mengharuskan pemeran wanita menampakkan auratnya. Pemeran pelacur pun tampak persis dengan pelacur, baik pakaian maupun cara merokoknya. Apakah seperti ini mengharapkan penonton bertaubat, sedangkan pemainnya saja belum bertaubat? Anda saja mereka sudah bertaubat, tentu tak sudi main seperti itu. Karena tuntutan skenario bukanlah udzur yang bisa diterima secara syar'i sehingga wanita boleh buka-bukaan. Bukan pula udzur sehingga diperbolehkan seorang muslim bermesraan dengan wanita yang bukan istrinya, apalagi dilihat banyak orang. Jelas ini menyebarkan kemaksiatan, terang-terangan dalam bermaksiat. Padahal Nabi bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
"Setiap umatku diampuni, kecuali mujahirin (yang terang-terangan melakukan dosa)." (HR Bukhari)

Di samping kebenaran cerita perlu dipertanyakan, kesimpulan dan pengambilan ibrah juga seringkali gegabah. Untuk satu kejadian mengerikan dikaitkan dengan dosa tertentu. Misalnya kuburan yang tergenang air, lalu dikaitkan dengan dosa si mayit. Ini berbahaya, bisa menimbulkan su'uzhan kepada mayit yang mengalami hal serupa. Padahal bisa jadi karena sifat tanah mengandung banyak air.

Atau kuburan keluar asapnya, lalu dikaitkan dengan perselingkuhan yang pernah dilakukan si mayit. Dikhawatirkan ketika ada kejadian yang kurang wajar, lalu dicari sisi dosa dan dibesar-besarkan sebagai bumbu cerita.

Sebaik-baik Kisah


Memang, kisah adalah sarana penting diterimanya dakwah. Tetapi tak perlu mengibuli umat untuk mendakwahi mereka. Untuk itulah Nabi tidak pernah bercerita kecuali yang benar. Jika ingin berkisah, maka sebaik-baik kisah adalah kisah yang dipaparkan di dalam Al-Qur'an. Datanya akurat, tidak ada kedustaan di dalamnya. Pelajaran yang bisa dipetik juga telah tergambar jelas. Misalnya tentang siksa bagi kaum Luth, di mana bumi di balik, mereka dihujani batu sampai mati, itu karena dosa homoseks yang mereka lakukan. Atau Qarun yang ditenggelamkan ke bumi beserta kekayaannya, itu karena kesombongannya.

Hadits-hadits juga menyebutkan banyak kisah-kisah menarik dan dijamin asli, bukan fiksi. Kisah-kisah yang ditulis para ulama tentang ulama, atau tentang generasi salaf juga sangat bagus sebagai sarana untuk memotivasi diri untuk senantiasa istiqamah.

Walhasil, bagi yang sudi menggali karya para ulama tentang kisah-kisah nyata yang bermanfaat, niscaya dia akan merasa cukup, tanpa harus mencari kisah-kisah yang mengada-ada. Wallahu a'lam (Abu Umar A/majalah Ar-Risalah) sumber : swaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

footer